Siap-siap Pemerintah Bakal Sita Tanah Hak Milik yang Ditelantarkan

Ilustrasi


AmbonBisnis.com, Jakarta - Pemerintah menjadikan tanah hak milik sebagai objek penertiban tanah terlantar. Kebijakan itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah atau RPP Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, aturan turunan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Dilansir dari cnnindonesia.com Kamis, (4/2) Pasal 7 ayat 2 RPP terkait menyebut bahwa tanah hak miliki menjadi objek penertiban apabila dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara, sehingga mengakibatkan tiga kondisi. Yaitu, pertama, dikuasai oleh masyarakat dan menjadi wilayah perkampungan.

Kedua, dikuasai oleh pihak lain secara terus menerus selama 20 tahun tanpa ada hubungan hukum dengan pemegang hak, dan ketiga, fungsi sosial hak atas tanah tidak terpenuhi, baik pemegang hak masih ada maupun sudah tidak ada.

Objek penertiban tanah terlantar lainnya adalah tanah hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, hak guna usaha, dan tanah yang diperoleh berdasarkan penguasaan atas tanah.

Sementara, tanah yang diperoleh dengan dasar penguasaan atas tanah menjadi objek penertiban jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara selama dua tahun sejak diterbitkannya dasar penguasaan atas tanah.

Kemudian, pasal 32 disebutkan bahwa tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak atau pemegang dasar penguasaan atas tanah dalam jangka waktu paling lama 30 hari.

Jika tidak dikosongkan, maka benda yang ada di atas tanah tersebut dinyatakan menjadi aset yang diabaikan. "Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar dapat menjadi aset bank tanah dan/atau TCUN (tanah cadangan umum negara)," bunyi pasal 33 RPP tersebut.

Kendati demikian, penetapan status tanah terlantar harus melalui beberapa proses. Di antaranya, evaluasi tanah terlantar yang dilaksanakan oleh panitia yang dibentuk dan ditetapkan oleh kepala kantor wilayah dalam waktu 180 hari.

Evaluasi itu meliputi pemeriksaan terhadap dokumen hak atas tanah, hak pengelolaan atas dasar penguasaan atas tanah, dan pemeriksaan terhadap rencana pengusahaan, penggunaan, pemanfaatan, dan/atau pemeliharaan tanah.

Kemudian, pemeriksaan terhadap pengusahaan, penggunaan,pemanfaatan, dan/atau pemeliharaan tanah secara faktual; dan pemberitahuan kepada pemegang hak, pemegang hak pengelolaan, atau pemegang dasar penguasaan atas tanah untuk mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai.

Apabila berdasarkan hasil evaluasi diketahui pemegang hak,pemegang hak pengelolaan, atau pemegang dasar penguasaan atas tanah sengaja menelantarkan tanah, kepala kantor wilayah menyampaikan pemberitahuan agar tanah itu diusahakan, dipergunakan, dimanfaatkan, dan/atau dipelihara dalam jangka waktu paling lama 180 hari sejak diterbitkannya pemberitahuan.

Selanjutnya, jika pemegang hak, pemegang hak pengelolaan, atau pemegang dasar penguasaan atas tanah tetap tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/atau tidak memelihara tanah yang dimiliki, maka dilakukan proses pemberian peringatan tertulis pertama.

Dalam Pasal 25, dijelaskan bahwa jika 90 hari setelah peringatan tertulis pertama tanah tetap ditelantarkan, maka kepala kantor wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dan meminta agar tanah tersebut diusahakan, dipergunakan, dimanfaatkan, dan/atau dipelihara.

Jika dalam 45 hari usai peringatan tertulis kedua tanah masih ditelantarkan, maka kepala kantor wilayah memberikan peringatan tertulis ketiga.

Terakhir, dalam pasal 27, ditegaskan jika 30 hari setelah peringatan tertulis ketiga tanah masih ditelantarkan,kepala  kantor wilayah mengusulkan penetapan tanah telantar kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) dalam waktu paling lama 30 hari.

"Terhadap tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam pasal 27, tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas bidang tanah tersebut sampai dengan diterbitkannya keputusan Menteri," demikian bunyi Pasal 28 RPP tersebut. (cnnindonesia.com/AB001)