Kenapa Orang Miskin Pilih Beli Rokok Ketimbang Beras?



AmbonBisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Kamis (3/11/2022) pernah mengatakan konsumsi rokok oleh masyarakat miskin cenderung tinggi. Konsumsi rokok berada di posisi kedua tertinggi setelah beras.

"Ini (rokok) kedua tertinggi sesudah beras, melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu dan tempe," katanya, dikutip Detik (21/02/2023)

Fakta ini cukup menggelitik. Kita mengetahui kalau mereka susah payah mencari uang untuk hidup sehari-hari. Dan ternyata uang tersebut dialihkan untuk membeli rokok, alih-alih makanan bergizi. Mengapa demikian?

Permasalahan seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di belahan bumi lain. Sebut salah satunya Amerika Serikat. 

Pada tahun 2008 perusahaan konsultan Gallup Poll melakukan survey terhadap 75.000 perokok di AS. Hasilnya menunjukkan kalau orang yang berpenghasilan kurang dari US$ 24.000 setahun lebih banyak menghisap rokok ketimbang orang berpenghasilan lebih dari US$ 90.000 setahun.

Atas permasalahan ini, Professor Standford University, Keith Humphreys, menulis kepada Washington Post beberapa penyebabnya.

Menurutnya biang masalahnya adalah lingkungan. Orang-orang kaya perokok memiliki peluang lebih besar mendapat dukungan lingkungan untuk berhenti merokok. Jika berniat untuk berpaling dari tembakau, maka mereka bisa masuk dalam jaringan pertemanan yang sehat.

Sedangkan ini tak terjadi di kelompok kelas bawah. Mereka sulit menemukan lingkungan yang mendukungnya terlepas dari rokok. Akibatnya mereka terus merokok dan menjadi candu. 

Selanjutnya, Keith juga mengaitkan masalah ini dengan depresi. Merokok membuat tubuh manusia merasakan efek dopamin sehingga lebih bahagia, tenang, dan senang. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang kelas bawah untuk mendapat kebahagiaan berlebih. Jadilah mereka akan terus merokok agar terlepas dari depresi.

"Mereka juga mungkin menghadapi tantangan dalam mengakses perawatan untuk masalah kesehatan mental yang terjadi bersamaan (misalnya, depresi) yang membuat berhenti merokok menjadi lebih sulit," katanya. 

Hal ini tidak terjadi di kelompok kelas atas. Jika mereka depresi, rokok hanya jadi salah satu alternatif penghilang. Sebab, mereka punya sumber daya untuk mendapat akses pengobatan kesehatan mental yang tidak murah.

Tak hanya disebabkan oleh perilaku manusianya, kebiasaan ini juga diakibatkan oleh perusahaan rokok yang terkadang tidak bermoral. Hal ini diungkap Megan Sandel dan Renée Boynton-Jarrett dalam opininya di CNN.

Mereka tidak menampik kalau lingkungan dan faktor ekonomi menjadi biang masalah peningkatan konsumsi rokok di kalangan orang miskin. Namun, faktor ini jangan sampai melupakan pengaruh dari perusahaan rokok itu sendiri. 

Pabrik rokok menargetkan lingkungan berpenghasilan rendah dengan menyebarkan lebih banyak ikan rokok. Industri juga menargetkan secara khusus rokok kepada kaum muda di lingkungan sosial ekonomi yang rendah. 

Orang miskin, rokok, dan psikologi keuangan

Untuk memahami fenomena rokok dan orang miskin, kita juga bisa melihatnya menggunakan lensa psikologi.

Morgan Housel, penulis buku The Psychology of Money, menulis bagaimana tiket lotere di Amerika Serikat paling banyak dibeli oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Bahkan, pengeluaran mereka untuk lotere 4 kali lipat lebih banyak daripada kelompok berpenghasilan tinggi. 

Hal ini mungkin tak masuk akal bagi Anda, tapi tidak buat mereka. Dan, motivasi di balik perilaku tersebut bisa jadi sama persis dengan apa yang dilakukan orang miskin terhadap rokok. 

Masyarakat berpenghasilan rendah tak mampu membeli hal-hal yang dimiliki orang kaya, seperti rumah yang nyaman, mobil bagus, liburan ke Bali, atau menyekolahkan anak di sekolah internasional. 

Satu-satunya bentuk 'kemewahan' yang mampu mereka beli adalah rokok, atau lotere dalam kasus lain. 

Sumber: CNBCIndonesia.com


Baca artikel menarik lainnya dari AMBONBISNIS.COM di GOOGLE NEWS