Jejak Raja Chulalongkorn di Jawa, Antara Eksplorasi Budaya dan Polemik Restorasi



Jejak Raja Chulalongkorn di Jawa, Antara Eksplorasi Budaya dan Polemik Restorasi

Oleh: Andhika Wahyudiono*

 

Selama abad ke-19, Jawa telah menjadi magnet bagi pelancong-pelancong mancanegara yang ingin menjelajahi Hindia Belanda. Pesona Jawa sebagai tujuan favorit tidak hanya didasarkan pada keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga pada daya tarik kuno yang tersimpan dalam reruntuhan bangunan, seperti yang dinyatakan oleh Denys Lombard dalam karyanya "Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan" (2005). Pada periode tersebut, candi-candi kuno di Jawa, termasuk Candi Borobudur dan kompleks Prambanan, menjadi daya tarik utama bagi para pelancong. Meskipun pada waktu itu candi-candi tersebut belum mendapatkan sentuhan restorasi yang signifikan, keberadaannya saja sudah cukup untuk mengagumkan para pengunjung, seperti yang terdokumentasikan dalam catatan perjalanan beberapa pelancong terkenal seperti Eliza Scidmore, Ida Pfeifer, Carl Sofus Lumholtz, dan John James Aubertin.

 

Selain pesona alam dan kekunoan bangunan, kunjungan Raja Chulalongkorn dari Siam (Thailand modern), atau yang dikenal juga sebagai Rama V, menambahkan dimensi baru dalam eksplorasi budaya di Jawa. Raja Chulalongkorn, yang bertakhta dari tahun 1868 hingga 1910, melakukan tiga kunjungan ke Hindia Belanda pada tahun 1871, 1896, dan 1901. Kunjungan tersebut tidak hanya merupakan perjalanan dinasti yang bersejarah, tetapi juga mencerminkan minat Raja Chulalongkorn dalam mempelajari berbagai aspek budaya dan seni di tempat yang ia kunjungi.

 

Kunjungan pertama Raja Chulalongkorn pada tahun 1871 menandai perubahan signifikan dalam tradisi raja-raja Thailand sebelumnya. Langkah audasinya untuk meninggalkan kerajaannya adalah awal dari eksplorasi budaya yang mendalam. Selama kunjungannya, Raja Chulalongkorn mengunjungi berbagai tempat di Jawa, termasuk Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia (sekarang Jakarta). Kesannya yang positif terhadap koleksi museum tersebut menunjukkan ketertarikannya pada kekayaan budaya Jawa.

 

Pada kunjungan-kunjungan berikutnya, Raja Chulalongkorn semakin terlibat dalam eksplorasi seni dan budaya Jawa. Kunjungan tahun 1896 membawanya ke berbagai kota di Jawa, termasuk Yogyakarta di mana ia mengunjungi Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Candi Prambanan. Dalam kunjungannya yang terakhir pada tahun 1901, Raja Chulalongkorn bahkan menyambangi Magelang, menunjukkan ketertarikannya yang berkelanjutan terhadap warisan budaya Jawa.

 

Selain sebagai pengagum, Raja Chulalongkorn juga menjadi kolektor seni yang serius. Setelah kunjungan pertamanya pada tahun 1871, ia membawa pulang beberapa kain sarung dan batik khas Jawa. Pada kunjungan-kunjungan berikutnya, ia bahkan membawa pulang artefak seni purbakala dari Candi Borobudur dan Candi Prambanan, termasuk patung Buddha dan arca singa. Meskipun tindakannya ini dipandang sebagai tindakan apresiasi terhadap kebudayaan Jawa, itu juga menimbulkan polemik terkait pengeluaran artefak tersebut dari tanah asalnya.

 

Polemik terbesar terjadi terkait izin yang diberikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, C.H.A. van der Wijck, kepada Raja Chulalongkorn untuk membawa pulang artefak dari Jawa. Izin tersebut mendapat kecaman dari beberapa kalangan, termasuk tokoh-tokoh seperti Isaac Groneman, J.A.N. Patijn, dan J.F. Niermeijer. Mereka mengkhawatirkan konsekuensi dari pengeluaran artefak tersebut terhadap warisan budaya Jawa. Bahkan, beberapa di antara mereka menyebut kejadian itu sebagai bencana bagi Candi Borobudur.

 

Namun, upaya-upaya diplomatik berhasil memperoleh kembali sebagian artefak yang telah dibawa pulang oleh Raja Chulalongkorn. Beberapa artefak, seperti relief dari Kompleks Prambanan, berhasil dipulangkan dan ditempatkan kembali di tempat asalnya setelah proses negosiasi yang panjang.

 

Perjalanan Raja Chulalongkorn di Jawa menggambarkan dinamika yang rumit antara eksplorasi budaya, penghargaan terhadap seni, dan perlindungan warisan budaya. Selama kunjungannya, Raja Chulalongkorn tidak hanya menyaksikan keindahan budaya Jawa, tetapi juga terlibat secara aktif dalam menghargai dan mengoleksi artefak seni purbakala. Kontribusi yang diberikannya terhadap pemahaman kita tentang kekayaan budaya Jawa tidak bisa diabaikan, karena kunjungannya membuka jendela luas bagi dunia untuk menghargai dan memahami keunikan seni dan budaya Jawa.

 

Namun, sisi lain dari perjalanan Raja Chulalongkorn juga menyoroti pertanyaan etis yang mendasar tentang kepemilikan dan pengelolaan warisan budaya. Pengambilan artefak dari tempat asalnya, meskipun dengan izin resmi, mengundang perdebatan tentang hak dan tanggung jawab atas warisan budaya yang bersifat universal. Polemik seputar pengeluaran artefak dari tanah asalnya, seperti yang terjadi dalam kasus kunjungan Raja Chulalongkorn, menunjukkan kompleksitas dilema moral di balik upaya untuk menghargai dan melestarikan warisan budaya.

 

Perjalanan Raja Chulalongkorn di Jawa juga mencerminkan peran penting diplomatik dalam pemulangan artefak budaya yang telah dibawa pulang. Melalui proses negosiasi yang panjang, beberapa artefak berhasil dipulangkan dan ditempatkan kembali di tempat asalnya. Ini menunjukkan upaya serius untuk mengembalikan warisan budaya ke habitatnya yang asli, sambil menghormati hak-hak dan kepentingan semua pihak yang terlibat.

 

Selain itu, kunjungan Raja Chulalongkorn menyoroti kompleksitas hubungan antara kepentingan individual dan kolektif dalam konteks warisan budaya. Sementara Raja Chulalongkorn mungkin memiliki minat pribadi dalam mengoleksi artefak seni purbakala, konsekuensi dari tindakannya menciptakan dampak yang lebih luas bagi warisan budaya Jawa secara keseluruhan. Ini menegaskan pentingnya mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari tindakan individual terhadap warisan budaya yang dimiliki bersama.

 

Dengan demikian, perjalanan Raja Chulalongkorn di Jawa bukan hanya sekedar catatan sejarah tentang pertemuan budaya antara dua bangsa, tetapi juga sebuah cermin bagi pertimbangan etis dalam perlindungan dan pengelolaan warisan budaya. Dalam menghadapi dilema yang kompleks ini, penting bagi kita untuk mempertimbangkan nilai-nilai keadilan, keberlanjutan, dan kerjasama lintas budaya untuk melestarikan kekayaan budaya yang menjadi warisan bersama umat manusia. (*Dosen UNTAG Banyuwangi


Baca artikel menarik lainnya dari AMBONBISNIS.COM di GOOGLE NEWS