Suku Bunga Acuan BI Naik Lagi Jadi 5,75 Persen, Ini Dampak dan Tips Menghadapinya




AmbonBisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen untuk periode Januari 2023.

Dengan kenaikan ini, maka suku bunga deposit facility menjadi sebesar 5 persen, dan suku bunga lending facility menjadi 6,5 persen.

"Rapat Dewan Gubernur memutuskan menaikkan suku bunga BI 7 days reverse repo rate sebesar 25 basis poin," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Kamis (19/1).

Keputusan ini diambil untuk menekan inflasi di dalam negeri. Meski lebih rendah dibandingkan negara lain, inflasi Indonesia masih di atas 3 persen.

"Kebijakan ini untuk memastikan inflasi inti tetap berada di kisaran 3 persen plus 1 persen dan inflasi IHK kembali ke sasaran 3 persen plus minus 1 persen di 2023," kata Perry.

Berdasarkan catatan, BI terus menaikkan suku bunga sejak Agustus 2022. Saat itu, bank sentral mengerek suku bunga menjadi 3,75 persen atau naik 25 bps dibanding bulan sebelumnya.

Selanjutnya, BI kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen pada September 2022. Pada bulan berikutnya, bank sentral kembali menarik suku bunga sebesar 50 bps menjadi 4,75 persen.

Pada November 2022, BI pun kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen. Lalu, suku bunga kembali dinaikkan sebesar 25 bps menjadi 5,5 persen pada Desember 2022.

Lantas, apa dampak dari kenaikan suku bunga BI?

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menjelaskan ada beberapa dampak signifikan yang bakal dirasakan masyarakat Indonesia imbas kenaikan suku bunga BI.

1. Biaya KPR hingga pinjaman usaha bengkak

Pengetatan moneter ini bakal membuat tingkat suku bunga acuan di perbankan dan lembaga keuangan konvensional lain ikut membengkak. Akibatnya, biaya kredit ke bank bakal lebih mahal, termasuk KPR dan kredit kendaraan bermotor.

"Jadi dampaknya untuk mendapatkan akses usaha menjadi lebih mahal biayanya. Ini berdampak juga mengurangi pertumbuhan ekonomi masyarakat," jelas Faisal kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

2. Penyaluran kredit anjlok

Menurut data Juli 2022 atau sebelum BI rutin mengerek suku bunga, yang dimiliki Faisal, tingkat pertumbuhan kredit perbankan masih terbilang bagus. Bahkan, masih bisa mencapai 10 persen.

"Efek pengetatan moneter itu kan terjadi setelah Juli. Kita belum lihat dampaknya terhadap pertumbuhan kredit perbankan. Logikanya akan turun pertumbuhan dan penyaluran kreditnya. Saya rasa sudah berada di level single digit, di bawah 10 persen," ujarnya.
3. Pertumbuhan sektor riil terhambat

Faisal menjelaskan penyaluran kredit yang berkurang atau terhambat bakal berdampak langsung kepada pertumbuhan di sektor riil.

"Otomatis pertumbuhan sektor riil karena kekurangan dana atau terhambatnya penyaluran dana akan membuat pertumbuhannya juga terhambat," jelasnya.

4. Masyarakat lebih pilih menabung

Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Teuku Riefky mengatakan suku bunga acuan BI yang naik akan membuat perilaku masyarakat berubah dalam membelanjakan uang.

"Dampaknya akan ada perubahan perilaku masyarakat dari konsumsi ke saving (menabung) karena imbal hasil dari saving harusnya meningkat," ujar Riefky.

Faisal mengamini anggapan tersebut. Ia menjelaskan tingkat suku bunga yang lebih tinggi menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk menyimpan uang atau menabung di bank.

"Bagi konsumen atau nasabah, mereka akan lebih menyimpan uang daripada spending. Karena inflasi tinggi membuat spending harga jadi lebih mahal. Tingkat spending bakal berkurang dan masyarakat cenderung menyimpan dana di bank atau lembaga keuangan," papar Faisal.

5. Lapangan kerja baru berkurang

Jika melihat dampak lebih jauh, Faisal menilai kenaikan suku bunga acuan bisa mengganggu usaha sektor riil sehingga bisnis terhambat dan ketersediaan lapangan kerja di Indonesia bakal bermasalah.

"Ini ada kaitannya dengan penciptaan lapangan pekerjaan. Jadi kesempatan untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak menjadi terhambat," pungkasnya.

Tapi jangan khawatir, perencana keuangan yang ahli dalam bidangnya memberikan tips bagi Anda yang ingin menyiapkan modal usaha di tengah kenaikan suku bunga BI.



1. Pakai Tabungan

Perencana Keuangan dari Advisor Alliance Group (AAG) Indonesia Dandy mengatakan salah satu cara untuk menyiapkan modal usaha adalah mengambil dari tabungan yang dimiliki. Namun, bukan dana darurat, melainkan tabungan yang sebelumnya ingin digunakan untuk kebutuhan tersier atau leisure.

"Kalau soal modal bisa diambil dari tabungan yang sudah ada. Misalnya tabungan untuk tujuan jangka pendek bisa digunakan terlebih dahulu," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

2. Jual Aset

Bila tidak memiliki tabungan yang cukup untuk memulai modal usaha, Dandy menyarankan untuk bisa menjual sebagian aset yang ada. Khususnya, aset yang tidak berdampak signifikan bagi kehidupan jika dijual.

Misalnya, bila memiliki dua kendaraan motor atau mobil bisa dijual satunya untuk dijadikan modal usaha. Kemudian, jika memiliki tanah yang sebelumnya dibeli untuk investasi bisa juga dijual dulu untuk dijadikan modal usaha. Bila nanti sudah jalan usahanya dan berhasil bisa dibeli kembali.

"Alternatif lainnya bisa menjual sebagian dari aset yang kita punya agar bisa dijadikan modal," kata Dandy.

3. Kerja Sama

Dandy mengatakan jika tidak memiliki tabungan cukup dan aset untuk dijual, maka bisa memilih opsi kerja sama dengan teman atau saudara. Cara ini bisa meringankan beban untuk mengumpulkan modal usaha yang besar.

"Kalau memang tidak ada tabungan atau aset yang bisa dijual bisa memilih opsi untuk menggunakan relasi, seperti bisa ajak orang untuk kerja sama atau cari investor bisa bagi hasil," jelasnya.


4. Ajukan KUR

Cara lain untuk bisa mendapatkan modal usaha adalah memanfaatkan fasilitas kredit usaha rakyat (KUR). Di mana pinjaman ini diberikan dengan bunga sangat rendah karena sesuai tujuan pemerintah membantu masyarakat kelas bawah atau UMKM untuk menjalankan usahanya.

"Opsi lain bisa menggunakan program dari pemerintah yg bekerja sama dengan bank konvensional dalam mengajukan Kredit Usaha Rakyat dengan bunga yang lebih rendah," tuturnya.

Namun, jika tidak ingin KUR bisa juga mengajukan pinjaman biasa, tetapi dengan memilih bunga tetap (fixed).

"Tentu kalau yang kasih bunga fixed rate akan lebih mahal dari floating rate, cuma yang fixed rate sudah terjamin cicilannya akan tetap seperti itu. Kalau floating rate bisa saja lebih besar sekarang dan bunga nya turun di kemudian hari, tetapi ada kemungkinan sebaliknya juga," imbuhnya.


5. Jadi Dropshipper

Sementara, Perencana Keuangan dari OneShildt Agustina Fitria mengatakan ada cara untuk bisa memulai usaha tanpa modal besar, yakni dengan menjadi dropshipper. Artinya, masyarakat bisa menjual produk tanpa harus menyetok barangnya.

Dalam hal ini, dropshipper bisa mempromosikan barang dari orang lain dan setelah ada pesanan baru dikirimkan ke pembeli. Jadi tak perlu modal usaha yang besar.

"Jika memang modal sendiri sedikit dan belum ada partner, maka carilah usaha yang tidak membutuhkan modal, misalnya dengan metode dropshipper," jelasnya.

Yang pasti, Fitria menekankan jangan sampai membuka usaha dengan modal dari utang. Apalagi utangnya berbunga.

"Karena kondisinya saat ini tidak berpenghasilan dan usahanya belum jelas bisa langsung cukup untuk bayar cicilan atau tidak," pungkasnya. (AB001/CNNIndonesia)